Oleh : Ustadz Yachya Yusliha.
Pemerintah berencana akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP)
terkait biaya pernikahan untuk menggantikan PP No. 47 Tahun 2004 tentang
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada
Departemen Agama. Pasalnya, pencatatan nikah yang tercantum dalam PP No.
47 Tahun 2004 itu membuka ruang terjadinya gratifikasi terhadap petugas
pencatatan pernikahan atau penghulu.
“Timbul keresahan
penerapan PP 47 Tahun 2004, karena memberi semacam uang pengganti
transport menjadi masalah hukum, gratifikasi,” terang Deputi IV Bidang
Koordinasi Pendidikan dan i Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
(Kemenkokesra) Agus Sartono dalam konperensi pers di gedung
Kemenkokesra, Jakarta, Jumat (07/2).
Konperensi pers bersama
ini dihadiri pula oleh Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Abdul Jamil,
Direktur Litigasi Kemenkumham Agus Hariadi.
Agus
mengungkapkan biaya pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama (KUA), yang
berdasarkan PP 47 Tahun 2004 dipatok Rp30 ribu, realitasnya banyak
masyarakat yang menikahkan di luar hari kerja. Biaya operasional KUA
hanya Rp2,2 juta per bulan yang tidak mencukupi, sehingga mendorong
masyarakat memberi amplop. “Petugas pencatatan nikah banyak melayani
hari libur dan di rumahnya. Seperti di Riau, kapal motor kecil di bawah
ombak, taruhannya nyawa.Ini perlu kita atur,” kata Agus.
Untuk
mengatasi persoalan itu, pemerintah akan mengeluarkan PP baru yang akan
menetapakn tarif/biaya pernikahan di KUA dan di luar KUA. Dalam
Rancangan PP itu ditetapkan biaya menikah di KUA dipatok Rp50 ribu dan
kalau biaya nikah di luar hari kerja atau luar kantor ditetapkan sebesar
Rp600 ribu.
Selain itu, pemerintah akan membebaskan biaya
pernikahan bagi warga kurang mampu alias gratis. Nantinya, kategori
masyarakat yang tidak mampu ini akan ditetapkan oleh Kementerian Agama.
“Bagi yang miskin secara ekonomi akan digratiskan,” katanya. Ukuran atau
kategori miskin akan ditentukan Kementerian Agama.
Tarif
biaya pernikahan ini sebagian besar akan dimasukkan dalam kas negara
dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). “Semua masuk kas
dalam bentuk PNBP, tidak serta merta milik petugas pencatat nikah. 80
persen PNBP dikembalikan ke Kementerian Agama dan 20 persen ke kas
negara,” tegasnya.
Dengan usulan ketentuan baru ini,
pemerintah berharap tidak ada lagi praktik gratifikasi, dan tindakan
yang mengarah tindak pidana korupsi berupa gratifikasi dapat dicegah.
RPP ini akan dibawa ke Kemenag, kemudian dibawa ke Kemenkumham untuk
harmonisasi dengan mengundang pihak berkepentingan termasuk Kemendagri
untuk memperoleh masukan.
“Setelah itu dikembalikan lagi ke
Kemenag, lalu dibawa ke Setneg untuk diparaf dan diajukan ke Presiden,”
lanjut Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Agus
Hariadi.
Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Abdul Jamil
meminta agar masyarakat tidak lagi memberi di luar tarif/biaya nikah
yang telah ditentukan itu. Makanya, untuk menghindari terjadinya
gratifikasi disusunlah tarif biaya nikah di luar jam kerja. “Nantinya,
setelah PP ini turun, kita melibatkan KPK agar tidak terjadi lagi
pungutan (melebihi tarif),” harapnya.
Dai mengatakan
pemerintah tidak bisa melarang masyarakat menikah di luar hari kerja
karena mayoritas masyarakat tidak mau menikah di KUA. Menurut penelitian
Balitbang Kemenag tahun 2013, hampir 94 persen masyarakat tidak mau
menikah di KUA lantaran faktor budaya dan sosial. “Ini sudah masalah
budaya masyarakat ingin menikah di rumah, masjid, dan sebagainya. Jadi
penghulu mau tidak mau harus melayani, makanya ini perlu diatur”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar