Minggu, 27 Desember 2015

HATI-HATI DENGAN BIAYA PERNIKAHAN

Oleh : Ustadz Yachya Yusliha.

Pemerintah berencana akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait biaya pernikahan untuk menggantikan PP No. 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama. Pasalnya, pencatatan nikah yang tercantum dalam PP No. 47 Tahun 2004 itu membuka ruang terjadinya gratifikasi terhadap petugas pencatatan pernikahan atau penghulu.

“Timbul keresahan penerapan PP 47 Tahun 2004, karena memberi semacam uang pengganti transport menjadi masalah hukum, gratifikasi,” terang Deputi IV Bidang Koordinasi Pendidikan dan i Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra) Agus Sartono dalam konperensi pers di gedung Kemenkokesra, Jakarta, Jumat (07/2).

Konperensi pers bersama ini dihadiri pula oleh Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Abdul Jamil, Direktur Litigasi Kemenkumham Agus Hariadi.

Agus mengungkapkan biaya pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama (KUA), yang berdasarkan PP 47 Tahun 2004 dipatok Rp30 ribu, realitasnya banyak masyarakat yang menikahkan di luar hari kerja. Biaya operasional KUA hanya Rp2,2 juta per bulan yang tidak mencukupi, sehingga mendorong masyarakat memberi amplop. “Petugas pencatatan nikah banyak melayani hari libur dan di rumahnya. Seperti di Riau, kapal motor kecil di bawah ombak, taruhannya nyawa.Ini perlu kita atur,” kata Agus.

Untuk mengatasi persoalan itu, pemerintah akan mengeluarkan PP baru yang akan menetapakn tarif/biaya pernikahan di KUA dan di luar KUA. Dalam Rancangan PP itu ditetapkan biaya menikah di KUA dipatok Rp50 ribu dan kalau biaya nikah di luar hari kerja atau luar kantor ditetapkan sebesar Rp600 ribu.

Selain itu, pemerintah akan membebaskan biaya pernikahan bagi warga kurang mampu alias gratis. Nantinya, kategori masyarakat yang tidak mampu ini akan ditetapkan oleh Kementerian Agama. “Bagi yang miskin secara ekonomi akan digratiskan,” katanya. Ukuran atau kategori miskin akan ditentukan Kementerian Agama.

Tarif biaya pernikahan ini sebagian besar akan dimasukkan dalam kas negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). “Semua masuk kas dalam bentuk PNBP, tidak serta merta milik petugas pencatat nikah. 80 persen PNBP dikembalikan ke Kementerian Agama dan 20 persen ke kas negara,” tegasnya.

Dengan usulan ketentuan baru ini, pemerintah berharap tidak ada lagi praktik gratifikasi, dan tindakan yang mengarah tindak pidana korupsi berupa gratifikasi dapat dicegah. RPP ini akan dibawa ke Kemenag, kemudian dibawa ke Kemenkumham untuk harmonisasi dengan mengundang pihak berkepentingan termasuk Kemendagri untuk memperoleh masukan.

“Setelah itu dikembalikan lagi ke Kemenag, lalu dibawa ke Setneg untuk diparaf dan diajukan ke Presiden,” lanjut Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Agus Hariadi.

Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Abdul Jamil meminta agar masyarakat tidak lagi memberi di luar tarif/biaya nikah yang telah ditentukan itu. Makanya, untuk menghindari terjadinya gratifikasi disusunlah tarif biaya nikah di luar jam kerja. “Nantinya, setelah PP ini turun, kita melibatkan KPK agar tidak terjadi lagi pungutan (melebihi tarif),” harapnya.

Dai mengatakan pemerintah tidak bisa melarang masyarakat menikah di luar hari kerja karena mayoritas masyarakat tidak mau menikah di KUA. Menurut penelitian Balitbang Kemenag tahun 2013, hampir 94 persen masyarakat tidak mau menikah di KUA lantaran faktor budaya dan sosial. “Ini sudah masalah budaya masyarakat ingin menikah di rumah, masjid, dan sebagainya. Jadi penghulu mau tidak mau harus melayani, makanya ini perlu diatur”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar